Adab-Adab Bagi Orang Sakit
oleh Syaikh ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as-Suhaibani dengan sedikit penyesuaian
1. Bagi orang yang sakit hendaknya
berhusnudzhan (berprasangka baik) kepada Allah dan berusaha mendekatkan diri
kepada-Nya dengan menggabungkan antara takut dan pengharapan, serta disertai
amalan yang ikhlas. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam:
لاَ يَمُوْتَنَّ
أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَ بِاللهِ. “Janganlah seorang
di antara (menginginkan) kematian kecuali dalam keadaan berprasangka baik
kepada Allah.” [HR. Muslim no. 2877, Abu Dawud no. 3113]
2. Selayaknya bagi yang terkena
musibah baik yang terkena itu dirinya, anaknya atau selainnya untuk mengganti
ucapan mengaduh pada saat sakit dengan berdzikir, istighfar dan ta’abbud
(beribadah) kepada Allah, karena sesungguhnya generasi Salaf -semoga Allah
memberikan rahmat kepada mereka- tidak suka mengeluh kepada manusia, karena
meskipun mengeluh itu membuat sedikit nyaman, namun mencerminkan kelemahan dan
ketidakberdayaan sedangkan bila mampu bersabar dalam menghadapi kondisi sakit
tersebut, maka hal itu menunjukkan pada kekuatan pengharapan pada Allah dan
kemuliaan.
3. Bagi orang yang sakit boleh untuk
mengadu kepada dokter atau orang yang dapat dipercaya tentang sakit dan derita
yang dialaminya, selama itu bukan karena kesal maupun keluh kesah.
4. Hendaknya meletakkan tangannya
pada bagian yang sakit kemudian mengucapkan do’a dari hadits (yang shahih)
seperti: بِسْمِ اللهِ. “Dengan menyebut
Nama Allah (tiga kali).”
Kemudian mengucapkan sebanyak tujuh
kali: أَعُوْذُ بِاللهِ وَقُدْرَتِهِ مِنْ شَرِّ مَا
أَجِدُ وَأُحَاذِرُ. “Aku berlindung kepada Allah dan kepada
kekuasaan-Nya dari keburukan apa yang aku temui dan aku hindari.” [HR. Muslim
no. 2022 (67)]
5. Berupaya untuk meminta kehalalan
atas barang-barang yang masih menjadi tanggungannya, barang yang menjadi
hutangnya atau yang pernah dirampas dari pemiliknya, menuliskan wasiat dengan
menjelaskan apa-apa yang merupakan miliknya, hak-hak manusia yang harus
dipenuhinya, juga wajib baginya untuk mewasiatkan harta-harta yang bukan
merupakan bagian dari warisannya, tanpa merugikan hak-hak warisnya.
6. Tidak boleh menggantungkan
jampi-jampi, jimat-jimat, dan semua yang mengandung kesyirikan. Sebagaimana
hadits: مَنْ عَلَّقَ تَمِيْمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ.
“Barangsiapa yang menggantungkan jimat, maka ia telah melakukan kesyirikan.”
[HR. Ahmad IV/156].
Namun disyari’atkan baginya untuk
mengobati sakitnya dengan ruqyah dan do’a-do’a yang disyari’atkan (do’a dari
al-Qur-an dan as-Sunnah).[1]
7. Hendaknya bersegera untuk
bertaubat, banyak istighfar (memohon ampun pada Allah) dan senantiasa memperbanyak amalan shalih.
Footnote:
[1] Kata
ruqyah, artinya adalah do’a perlindungan yang biasa dipakai sebagai jampi bagi
orang sakit. Ruqyah dibolehkan dalam syari’at Islam berdasarkan hadits ‘Auf bin
Malik di dalam Shahih Muslim, beliau Radhiyallahu anhu berkata: “Di masa
Jahiliyyah kami biasa melakukan ruqyah, lalu kami berkata kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam: ‘Bagaimana pendapatmu, wahai Rasulullah?’ Maka
beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Lakukanlah ruqyah yang biasa
kalian lakukan selama tidak mengandung syirik.’”[HR. Muslim no. 2200]
0 comments:
Post a comment