SIKAP BELAJAR ORANG-ORANG MUSLIM TERDAHULU
Dalam sejarah tercatat betapa hormatnya para ilmuwan muslim pada gurunya. Dan rasa hormat kepada sang guru inilah yang akhirnya mendatangkan rahmat dan kemuliaan.
Tersebutlah seorang ahli ilmu yang disegani bahkan
oleh penguasa ketika itu. Ia adalah Fakhruddin al-Arsabandi, ulama di Marwa.
Dalam ketenarannya, ia mengungkap sebuah rahasia atas rahmat Allah yang luar
biasa didapatkannya. “Aku mendapatkan kedudukan yang mulia ini karena berkhidmat
(melayani) guruku,” ujar sang Imam. (Ta’lim Al Muta’allim, hal. 48,49)
Ia menjelaskan, khidmat yang dia
berikan kepada gurunya sungguh luar biasa. Gurunya Imam Abu Zaid ad-Dabbusi
benar-benar dilayaninya bagai seorang budak kepada majikan. Ia pernah
memasakkan makanan untuk gurunya selama 30 tahun tanpa sedikit pun mencicipi
makanan yang disajikannya.
Begitulah cara orang-orang muslim
terdahulu mendapatkan keberkahan ilmu dari memuliakan gurunya.
Mencintai ilmu berarti mencintai orang yang menjadi sumber ilmu. Menghormati
ilmu berarti harus menghormati pula orang yang memberi ilmu. Itulah guru. Tanpa
pengajaran guru, ilmu tak akan pernah bisa didapatkan oleh si murid.
Dalam sejarah pendidikan Islam,
jelas terpampang bahwa pelajaran pertama yang diterima seorang murid adalah bab
Adabu Mu’allim wa Muta’allim (adab antara guru dan murid). Dari kitab manapun,
mestilah pembelajaran dimulai dari bab ini. Seorang murid perlu dipahamkan,
dari siapa ia menerima ilmu karena dalam pembelajaran ilmu-ilmu Islam sangat
memperhatikan sanad (validitas).
Hal ini berbeda dengan sesuatu
yang bersifat nasihat. Nasihat tak perlu memandang dari mulut siapa keluarnya
nasihat itu. Seperti yang diungkapkan pepatah Arab, unzur ma qala wala
tanzur man qala (lihatlah kepada apa yang dikatakan, jangan melihat siapa
yang mengatakannya).
Kecuali, bagi ilmu-ilmu Islam
sejenis tafsir, hadist, akidah, dan cabang ilmu sejenisnya, perlu diperhatikan
dari siapa seorang murid menerimanya.
Inilah yang dipesankan Muhammad bin Sirin, “Sesungguhnya ilmu
ini adalah agama. Maka lihatlah dari siapa engkau mengambil agamamu.”
Kita bisa dapat pelajaran dari Fakhruddin
al-Arsabandi, bahwa beliau benar-benar memperhatikan sang guru sebagai tempat
ia mengambil ilmu. Ia tak ubahnya seperti budak di hadapan gurunya. Hal yang
sama juga ditunjukkan oleh Ali bin Abi Thalib RA yang pernah mengatakan, “Siapa
yang pernah mengajarkan aku satu huruf saja, maka aku siap menjadi budaknya.”
Juga tercatat, Imam Syafi’i
pernah membuat rekannya terheran-heran karena tiba-tiba saja ia mencium tangan
dan memeluk seorang lelaki tua. Para sahabatnya bertanya-tanya, “Mengapa
seorang imam besar mau mencium tangan seorang laki-laki tua? Padahal masih
banyak ulama yang lebih pantas dicium tangannya daripada dia?”
Imam Syafi’i menjawab, “Dulu aku
pernah bertanya padanya, bagaimana mengetahui seekor anjing telah mencapai usia
baligh? Orang tua itu menjawab, “Jika kamu melihat anjing itu kencing dengan
mengangkat sebelah kakinya, maka ia telah baligh.”
Imam Syafi’i hanya mendapat ilmu
itu dari orang tua itu. Tapi, beliau tak pernah lupa akan secuil ilmu yang ia
dapatkan. Baginya, orang tua itu adalah guru yang patut dihormati. Sikap
sedemikian pulalah yang menjadi salah satu faktor yang menghantarkan seorang Syafi’i
menjadi imam besar. @pdlssm
0 comments:
Post a comment